Pages

Sabtu, 27 Juli 2013

MAKAM BAYAT KLATEN JATENG

matahari di Desa Paseban, Klateng-Jawa tengan, matahari bersinar terik. Namun puluhan orang, tua-muda, lakilaki-perempuan, tampak bersemangat menaiki ratusan anaktangga puncak bukit Jabalkat.

Tujuan mereka satu, berziarah ke makam Ki Ageng Pandanaran atau lebih dikenal dengan nama Sunan Tembayat yang terletak persis di puncak bukit Jabalkat.

Menurut riwayat, kompleks makam Tembayat ini dibangun tahun 1526. Tapi komplek makam tak pernah betul-betul leluasa dimasuki, kecuali area luarnya saja.

“Pada pasca gempa tahun 2006 lalu, ruang makam belum boleh dimasuki," kata Saryono (48), juru kunci makam.

Selain makam, di tempat itu juga terdapat masjid Golo atau masjid Pandaranan, yang terletak di perbukitan setinggi 12 meter di tepi jalan raya. Sebagai bangunan utama berukuran 12 X 11 meter itu ditopang dua emperan susun setinggi 3,40 meter dengan lebar 3 dan 2 meter. Penyangga utama masjid ditopang 16 tiang yang terbuat dari kayu jati.

Berdasar catatan, masjid ini menjadi saksi peninggalan dakwah Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Tembayat, saat menyiarkan agama Islam di daerah Bayat dan sekitarnya. Dalam pengertian bahasa Jawa kata golo berasal dari suku kata Go yang berarti satu. Dan Lo yang berarti tujuh. Sehingga mengandung pengertian angka 17 yang mengisyaratkan banyaknya rekaat dalam shalat lima waktu.

Dakwah
Sunan Bayat sendiri hidup semasa Sunan Kalijaga. Menurut beberapa versi, nama aslinya adalah Ki Ageng Pandanaran. Awalnya, Ki Ageng adalah seorang pejabat tinggi kerajaan di Semarang yang memiliki kekayaan yang melimpah. Tapi kemudian ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawinya, kekayaannya, dan mengabdikan dirinya untuk syiar agama.

Ia menjadi murid Sunan Kalijaga, dan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga diperintahkan untuk berdakwah di daerah Bayat, Klaten. Di sinilah Sunan Bayat berdakwah hingga tutup usia. Saat gonjang-ganjing Syekh Siti Jenar, Sunan Bayat masuk sebagai salah satu anggota dalam dewan Wali Songo.

Makam Tembayat juga membuktikan satu hal, bahwasanya Islam “ramah” terhadap budaya lokal. Proses dakwah yang asimiliatif, penuh toleransi, dan tanpa kekerasan budaya, ditunjukkan oleh makam Tembayat ini, seperti juga banyak bukti lain seperti Masjid Menara Kudus.

Makam ini memberi pelajaran penting bahwa mengajak kepada kebaikan tidak harus melalui kekerasan, pelajaran akan pentingnya toleransi untuk keharmonisan hidup.
Makam ini juga menjadi teladan seorang Sunan Bayat yang rela meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh kemewahan demi sebuah panggilan nurani untuk kemanusiaan dan pencerahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar