Pages

Selasa, 19 November 2013

AGRO WISATA TAMBI DIENG

Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo tidak hanya terkenal dengan hawa sejuknya saja, tapi juga pemandangannya yang alami. Menyaksikan hamparan kebun teh penuh dengan kabut membuat Anda seperti berada di dalam awan.
Sama halnya seperti kawasan Puncak, Bogor, Dieng juga memiliki hamparan perkebunan teh yang asri. Hijau dan alami adalah kata yang paling tepat untuk mewakilkan pemandangan di sini.
Ada salah satu perkebunan yang diberi nama Kebun Teh Tambi. Suasana asrinya membuat banyak wisatawan tak henti-henti
nya berdatangan untuk sekadar berjalan-jalan untuk menikmatinya.
Pada sore hari, halimun atau kabut tebal akan turun ke perbukitan dan membuat semuanya menjadi berkabut. Pemandangan ini akan membuat Anda seperti berada di dalam awan.

Selasa, 06 Agustus 2013

CURUG MUARA JAYA MAJALENGKA JABAR

Curug Muara Jaya yang juga dikenal sebagai Curug Apuy berada pada aliran Sungai Muara Jaya di lereng Gunung Ciremai.  Curug ini adalah jenis air terjun bertingkat (cascade) dengan ketinggian terjunan air keseluruhan sekitar 73 m.  Terdapat dua tingkat air terjun, tingkat pertama merupakan air terjun utama yang jatuh dari ketinggian sekitar 60 meter pada dinding tebing batu, sementara tingkat dua merupakan air terjun yang lebih kecil hanya setinggi sekitar 13 meter.
Di kawasan sekitar curug ini berudara sejuk dan tanahnya sangat subur sehingga banyak ditemui hamparan kebun sayur mayur dan palawija, bahkan disini banyak sekali pohon kesemek tumbuh.  Di lokasi ini pada setiap tahunnya digelar upacara Pareresan yang dilakukan masyarakat setempat setelah panen raya.
Di desa Argamukti juga terdapat curug lain, yaitu Curug Sawer.  Curug ini belum setenar Curug Muara Jaya, selain itu belum dikembangkan lebih jauh oleh pemda setempat sebagai objek wisata.
Lokasi
Terletak di Kampung Apuy, Desa Argamukti, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat.
Aksesbilitas
Berjarak sekitar 83 km sebelah barat daya Kota Cirebon atau + 23 km km arah tenggara ibu kota Kabupaten Majalengka dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat sampai dekat lokasi.  Jika mengambil jalur dari kota Majalengka terlebih dahulu singgah di Maja yang merupakan kota kecil kecamatan yang merupakan sentra sayuran Majalengka. Dari sana kemudian dilanjutkan menuju desa Argalingga.  Kondisi jalan menuju desa ini kecil, sangat sulit untuk dua kendaraan empat berpapasan, menanjak dan berkelok.  Di beberapa tempat banyak aspal terkelupas menyisakan batu-batu dan lubang jalan.  Hal ini terjadi di sekitar 2 km terakhir menuju desa Argalingga.
Bagi yang menggunakan angkutan umum, dari kota Majalengka naik menggunakan angkutan umum jenis elf atau L-300 jurusan Maja.  Setiba di kota kecamatan Maja turun di dekat pasar, lalu carilah pertigaan persis di sebelah terminal Bis Maja.  Ambil jalan ke kiri (ke arah gunung).  Jaln tersebut adalah satu-satunya jalan menuju desa Argamukti lewat Maja.  Di pertigaan ini perjalanan diteruskan dengan berganti menggunakan angkutan mobil bak terbuka sejenis pickup, yang biasa digunakan warga untuk mengangkut penumpang dan sayur-mayur hasil panen.  Ongkos naik adalah Rp 3000 per orang sekali jalan hingga tiba di pelataran parkir dekat kompleks curug.  Alternatif lain adalah dengan menggunakan ojek yang juga tersedia disekitar pasar Maja dengan ongkos Rp 8000 per orang hingga sampai tujuan.
Setiba di desa Argalingga akan ditemui pertigaan, dimana untuk belokan kekiri menuju Rajagaluh lewat kecamatan Sindang dan (merupakan alternatif jalan ke desa Argalingga jika tidak melalui Maja), sedangkan untuk belokan ke kanan ke desa Argamukti, lokasi curug ini berada.  Jarak dari pertigaan ini sekitar 2 km hingga tiba di desa Argamukti.  Kondisi jalan ke desa ini sama seperti sebelumnya sempit, aspal terkelupas dan turun naik.
Memasuki desa Argamukti, akan ditemui pertigaan lagi dengan penunjuk arah ke Curug Muara Jaya. Ambillah jalan ke kanan mengikuti petunjuk itu, dan tidak sampai lima menit kemudian tiba di gerbang curug.
Sesampainya di pintu gerbang ini kendaraan dapat di parkir di tempat yang disediakan di lahan parkir dekat loket. Dan selanjutnya dari tempat parkir ini perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang telah di paving blok dan diberi undakan sejauh kurang lebih 300 meter menuruni lembah sedalam lebih dari 100 meter.  Curug ini sendiri terletak sekitar 500 m di sebelah barat desa Argamukti.

BENDUNGAN RENTANG MAJALENGKA JABAR

Bendungan Rentang dengan koordinat -6.661539, 108.221169  merupakan kawasan irigasi di Kecamatan Jatitujuh, namun masyarakat setempat dan sekitarnya sudah banyak yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam dan menikmati  kesejukan alam di lokasi tersebut. Bendungan Rentang terletak di Desa Jatitujuh Kecamatan Jatitujuh dengan jarak tempuh + 30 Km dari  pusat Kota Majalengka dengan luas 12 Ha. Objek Wisata ini memiliki potensi yang sangat baik untuk di kembangkan, namun lokasi ini belum tersentuh oleh pemerintah Kabupaten Majalengka. Akses menuju lokasi tersebut sudah baik dan lokasi tersebut dapat di tempuh dengan  angkutan umum seperti angkutan desa Kadipaten - Jatitujuh. Potensi objek wisata ini perlu adanya perhatian khusus untuk menangani potensi pariwisata yang ada di desa Jatitujuh, sehingga Bendungan Rentang dapat dikembangkan menjadi objek wisata yang dapat menarik perhatian pengunjung.
sumber : www.majalengkakab.go.id 

AIR TERJUN CILUTUNG MAJALENGKA JABAR

Terletak di Desa Campaga Kecamatan Talaga dengan jarak tempuh +28 Km dari  pusat Kota Majalengka. Objek Wisata ini memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, namun lokasi ini belum terkelola dengan baik. Akses menuju lokasi tersebut sudah cukup baik tetapi belum adanya angkutan umum untuk menuju lokasi tersebut. Oleh karena itu, objek wisata ini memerlukan perhatian yang lebih dalam menangani potensi pariwisata yang ada di Desa Talaga Kulon, sehingga Air Terjun Cilutung dapat dikembangkan menjadi objek wisata yang dapat menarik minat pengunjung.
sumber : www.majalengkakab.go.id 

AIR TERJUN CIBALI MAJALENGKA JABAR

Objek dan daya tarik wisata ini terletek di Desa Cikondang Kecamatan Cingambul yang memiliki jarak +39 km dari pusat kota Majalengka. Objek wisata ini pada umumnya sering di kunjungi oleh para pelajar yang datang pada waktu libur. Objek wisata Air Terjun Cibali ini belum terkelola dengan baik. Untuk akses menuju lokasi tersebut kurang baik dan angkutan umum yang menuju ke tempat wisata ini belum ada. Sedangkan fasilitas di objek wisata ini belum dibangun. sumber : www.majalengkakab.go.id 

ARGO BATU LUHUR MAJALENGKA JABAR


Mungkin Anda merasa bosan rekreasi kemall, bioskop, atau kolam renang yang senantiasa bersentuhan dengan orang banyak dan aspek-aspek modernitas, tak ada salah mencari objek wisata alternatif, ke situ misalnya. Nah, bicara soal situ, di kawasan Indramayu ada situ yang menarik dan mengasyikkan kalau dikunjungi, apalagi kalau bersama dengan keluarga yakni Wisata Agro Budi Luhur.
Kawasan Wisata Agro Budi Luhur memiliki nuansa dan suasana yang tak beda jauh dengan objek agro lainnya yakni alami, sejuk dan tenang. Makanya tak heran kawasan objek wisata semacam ini kerap dikunjungi oleh mereka yang bosan merasakan hiruk-pikuk perkotaan. Mereka ingin mendapatkan suasana dan alam yang baru, yang menjauhkan mereka dari bayang-bayang kerumitan dan keruwetan hidup khas kota besar.
Kawasan Wisata Agro Budi Luhur berusaha untuk mengembangkan potensi alam yang sudah ada dengan ciri khas batu tertinggi di Kecamatan tersebut dan hortikultura. Pengembangan kedepannya akan membuat suatu objek wisata yang memiliki konsep wisata agro, dimana dalam satu kawasan objek tersebut dikembangkan berbagai macam jenis kegiatan, diantaranya kegiatan alam (outbond/area berkemah), kegiatan rohani (pesantren), kegiatan pendidikan dan pelatihan (pendidikan bercocok tanam, jenis bambu, penangkaran dan domba unggulan serta pelatihan SAR), dan kegiatan berburu.
Adapun fasilitas yang bisa digunakan yaitu mushola, arena bermain anak (playing foxdan teropong bintang), tempat penjualan souvenir, tempat penjualan macam buah-buahan (salah satunya durian dan lengkeng), restoran (saung prasmanan), toilet, dan tempat pelatihan. Sedangkan untuk villa, rencananya akan dibangun di dekat Situ Cikuda karena memiliki udara yang sejuk untuk beristirahat. Tertarikkah untuk berkunjung ke objek wisata yang dijamin akan memberikan ketenangan lahir dan bathin buat Anda?

Minggu, 04 Agustus 2013

GUA SUNYARAGI CIREBON JABAR

Sejarah berdirinya gua Sunyaragi memiliki dua buah versi, yang pertama adalah berita lisan tentang sejarah berdirinya gua Sunyaragi yang disampaikan secara turun-temurun oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan keraton. Versi tersebut lebih dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda. Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari yaitu berdasarkan buku “Purwaka Caruban Nagari” tulisan tangan Pangeran Kararangen tahun 1720. Namun sejarah berdirinya gua Sunyaragi versi Caruban Nagari berdasarkan sumber tertulislah yang digunakan sebagai acuan para pemandu wisata gua Sunyaragi yaitu tahun 1703 Masehi untuk menerangkan tentang sejarah gua Sunyaragi karena sumber tertulis lebih memiliki bukti yang kuat daripada sumber-sumber lisan. Kompleks Sunyaragi dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali mengalami perombakan dan perbaikan. Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon.
Menurut Caruban Kandha dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati (sekarang Keraton Kasepuhan Cirebon) yang terjadi pada tahun 1529 M, dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M.

MASJID AGUNG SUMBER CIREBON JABAR

Masjid Agung Sumber, Kabupaten Cirebon didirikan pada bulan November1988. Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Sumber pada bulan November 1988 oleh Bapak Kol. (Inf). H. Memet Thohir (Bupati KDH Tk. II Cirebon), mengingat keterbatasan dana dan kekurangan tenaga ahli maka pembangunan masjid sangat lambat, baru pada bulan Agustus 1992 dengan uluran tangan dari pihak swasta dan intensifikasi pengumpulan dana, pembangunan dapat berjalan dengan cepat dan lancar sehingga pada tanggal 29 September 1993 pembangunan masjid dapat diselesaikan dan diresmikan oleh Bapak Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat (Bapak H. R. Yogi S. Memet) pada masa Bupati Cirebon Kol. (Kav). H. Soewendo. Masjid ini di arsiteki oleh Tim dari ITB Bandung

Masjid Agung Sumber dibangun diatas tanah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon dengan luas 10.916 M2. Luas bangunan 2.393,50 M2 terdiri dari 2 lantai yang meliputi di dalamnya ruang utama/ruang shalat, ruang serba guna, ruang perpustakaan, sekretariat DKM, DMI, RISMA, LPTQ, dan memiliki 5 unit tempat wudlu 6 kamar mandi kamar kecil serta halaman parkir yang cukup luas.

KURA-KURA BELAWA CIREBON JABAR


kura kura belawa adalah sebuah habitat atu budidaya binatang kura kura yang berada di desa belawa kabupaten cirebon tepatnya arah menuju lemahabang sindang laut dengan waktu tempuh 30 menit dari kota cirebon
kura kura belawa merupakan kura kura yang mempunyai perbedaan dari kura kura lainnya
kura kura belawa yang satu ini hanya dapat di temukan di cirebon
namun objek wisata kura belawa tinggal kenangan…di akibatkan ntah sanitasi yang kurang atau terkena bakteri akibatnya hampir 90 persen telah tewas..padahal untuk sebuah kura kura di butuhkan ratusan tahun untuk tumbuh besar
sekarang cuma yang tertinggal berupa telur telur yang di isolasi

MAKAM SUNAN GUNUNG JATI CIREBON JABAR


Kompleks makam Astana Gunung Jati berada di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara pada pinggir jalan raya Cirebon – Indramayu dari kota Cirebon berjarak sekitar 5 km, tepatnya pada koordinat 06º 40' 256" Lintang Selatan dan 108º 33' 563" Bujur Timur. Luas wilayah kompleks makam adalah ± 36.350 Ha yang terdiri dari 23,010 ha tanah desa dan 13,340 ha tanah keraton. Batas wilayah kompleks makam di sebelah utara adalah Desa Kalisapu, sebelah timur persawahan, sebelah selatan Desa Jatimerta, dan sebelah barat jalan raya. Lingkungan pada kompleks makam adalah hutan jati yang disebut Alas Konda. Geomorfologi daerah berupa pedataran bergelombang. Kompleks makam Astana Gunung Jati merupakan kompleks makam dengan tokoh utama yang dimakamkan adalah Syekh Datu Kahfi. Untuk menuju makam Syekh Datu Kahfi dapat ditempuh melalui jalan berundak berplester semen dari sudut barat laut dan tenggara. Dari gerbang utama yang berada di barat laut, jalan berundak sedikit berkelok ke kiri kemudian sedikit menanjak terdapat percabangan jalan yaitu lurus dan belok ke kanan. Jalan yang lurus mendatar menuju cungkup makam Syekh Datu Kahfi. Sebelum memasuki cungkup melewati gerbang gapura candi bentar. Setelah melawati gapura bentar selanjutnya jalan menuju cungkup makam tersebut berpagar tembok. Cungkup makam berdenah empat persegi panjang menghadap ke barat.  Jalan yang berbelok ke kanan berundak-undak sedikit menanjak menuju ke puncak Gunung Jati. Pada puncak gunung tersebut terdapat halaman yang disebut sebagai puser bumi atau puser Gunung Jati. Puser bumi ditandai dengan lubang yang diapit tumpukan batu. Lubang dan tumpukan batu tersebut mungkin merupakan sisa aktivitas vulkanik. Melalui tempat ini ke arah timur akan terlihat laut lepas sehingga kapal dapat dilihat dengan jelas. Pada tebing di sisi timur puser bumi terdapat goa yang disebut Goa Garba Iman.  Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa pada masa lalu di tempat ini dipasang menara api (mercu suar). Tempat ini disebut Muara Jati yang banyak disinggahi kapal laut. Kemungkinannya tempat inilah yang merupakan daerah awal pelabuhan Cirebon yang dikepalai oleh seorang Juru Labuhan. Diceritakan pula bahwa Syekh Datu Kahfi pernah bertapa di gua Garba Iman. Oleh karena itu beliau disebut dengan nama Datu Kahfi. Kahfi adalah bahsa Arab yang berarti gua. Di tempat ini pula Syekh Datu Kahfi menghimpun murid-murid dan mengajarkan agama Islam. Mengenai sejarah Syekh Datu Kahfi diceritakan bahwa pada permulaan abad ke-15 agama Islam sudah berkembang di Pulau Jawa. Di Jawa Barat seperti di Gunung Jati merupakan wilayah di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena letaknya di tepi Pelabuhan Muara Jati, maka banyak pedagang asing yang dating ke situ. Pedagang tersebut antara lain berasal dari Cina, Arab, dan Gujarat (pantai barat India). Ramainya perahu dagang asing  yang berlabuh pada pelabuhan itu dikarenakan letaknya strategis untuk perniagaan juga karena penguasa negerinya Ki Gede Surawijaya dengan Syahbandarnya  yang bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati bersikap toleran terhadap setiap pedagang asing. Karena pedagang asing itu selain berdagang juga bertujuan sebagai mubaligh membawa ajaran agama Islam terutama pedagang dari Arab dan Gujarat Pada tahun 1420 Masehi datanglah rombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi  memohon untuk menetap di perkampungan di sekitar Muara Jati. Untuk memperlancar dagangnya, Ki Gede Surawijaya mengijinkannya menetap di kampung Pasambangan di mana terdapat Gunung Jati. Sejak itulah mereka memulai kegiatan berdakwah mengajak penduduk dan teman-teman dekatnya. Cara beliau berdakwah sangat bijaksana, penuh hikmah dalam menyampaikan dan mengajak orang masuk Islam. Dalam waktu yang singkat Paguron Islam Gunung Jati terdengar sampai ke pusat Kerajaan Pajajaran, sehingga suatu hari kedatangan Raden Walangsungsang dan adiknya yang bernama Ratu Rarasantang beserta istrinya Nyi Endang Geulis dengan tujuan ingin mempelajari agama Islam. Raden Walangsungsang dan Ratu Rarasantang adalah putera dan putri Raja Pajajaran Raden Pamanarasa yang bergelar Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyi Mas Sumbanglarang  putri dari Ki Jumajan Jati yang waktu itu sedang belajar agama Islam di Paguron Islam Syekh Quro, Karawang. Keduanya merupakan cucu dari Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Kedatangannya ke Paguron Islam Gunung Jati tidak disetujui oleh ayahnya. Setelah Nyi Subanglarang meninggal dunia maka Prabu Siliwangi kembali lagi ke agama Buddha. Sedangkan putra dan putrinya sudah dididik dan diberi petunjuk oleh mendiang ibunya agar memperdalam agama Islam di Paguron Gunung Jati semasa mereka masih anak-anak. Karena kedatangan mereka di Gunung Jati selain melaksanakan petunjuk almarhumah ibunya juga bermaksud sungkem kepada eyangnya. Dengan kedatangan keluarga Keraton Pajajaran ini, maka Syeh Idlofi semakin giat mengembangkan Agama Allah di Paguron Islam Gunung Jati. Beliau kegiatannya selain berdakwah juga suka tafakur menyendiri di gua puncak Gunung Jati. Maka oleh santrinya memanggil dengan nama “Syekh Dzatul Kahfi” artinya sesepuh yang mendiami gua. Selain sebutan itu, karena bersinar dan syiarnya Gunung Jati di luar daerah disebabkan kemulyaan taqwanya kepada Allah, hingga masyarakat kampung Pasambangan menyebutnya “Syekh Nur Jati “ artinya sesepuh yang menyinari dan menyiarkan Gunung Jati. Jika santri yang akan keluar dari Paguron Gunung Jati, beliau selalu menyebutkan “Settana” artinya pegang eratlah segala yang pernah diperoleh dari Paguron tersebut. Maka sejak itulah masyarakat menyebutnya Settana Gunung Jati. Pada akhirnya Gunung Jati dijadikan tempat pemakamanm, terutama makam Syekh Dzatul Kahfi sendiri. Karena penduduk Jawa Barat sebagian besar berbahasa Sunda maka dari Settana menjadi Astana yang artinya kuburan. Demikianlah, kampong Pasambangan yang mencakup sekitar Gunung Jati sampai sekarang namanya Astana Gunung Jati. Tempat dimana dimakamnya Syekh Dzatul Kahfi.   - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=235#sthash.3p0vTYNy.dpuf

MASJID MERAH PANJUAN CIREBON JABAR


Di Cirebon selain terdapat Masjid Agung Sang Ciptarasa juga terdapat mesjid tua yang ukurannya lebih kecil, yaitu Mesjid Merah Panjunan. Masjid ini fungsinya hanya untuk tempat shalat sehari-hari, tidak dipakai untuk ibadah shalat Jumat. Mesjid yang berada di tengah pemukiman padat ini secara administratif berada di wilayah Kampung Panjunan, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk. Masjid berada di sudut barat daya perempatan jalan. Sebelah utara merupakan Jl. Kolektoran, sebelah timur merupakan ruas Jl. Masjid Abang. Di sebelah selatan terdapat bangunan untuk Posyandu dan rumah penduduk serta sebelah barat merupakan pemukiman. Bangunan masjid yang tepatnya berada pada koordinat 06º 43' 087" Lintang Selatan dan 108º 33' 970" Bujur Timur ini berdiri di atas lahan seluas 150 m2. Latar belakang sejarah mesjid yang berdiri di perkampungan Arab ini telah berumur sekitar 524 tahun. Pada tahun 1480 Pangeran Panjunan membangun surau, yang kemudian dikenal dengan nama Mesjid Merah Panjunan. Surau ini dibangun 18 tahun sebelum pembangunan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Dengan demikian, surau ini merupakan tempat ibadat umat Islam kedua di Cirebon, setelah Tajug Pejlagrahan di Kampung Sitimulya. Dikenal dengan nama demikian karena dinding Mesjid ini dibangun dari susunan bata merah ekspose, sementara nama Panjunan menunjuk pada nama kampung di mana mesjid berada. Pembangunan Mesjid Merah Panjunan berkaitan dengan migrasi keturunan Arab ke Cirebon pada sekitar abad ke-15. Dalam Babad Cirebon disebutkan pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, surau ini kerap digunakan untuk pengajian dan musyawarah Wali Sanga. Ketika Kesultanan Cirebon diperintah oleh Panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati), pada sekitar tahun 1549, halaman mesjid dipagar dengan kuta  kosod (bata disusun tanpa lepa). Pada pintu masuk dibangun sepasang gapura candi bentar dan pintu panel jati berukir. Keadaan tata ruang mesjid yang masih terawat ini bertahan hingga sekarang. Atap sirap pada tahun 2001-2002 dipugar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Pada awalnya mesjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan, namun sekarang sudah diserahkan pengelolaannya kepada DKM Panjunan. Kompleks mesjid dikelilingi pagar bata setinggi 1,5 m. Teknin penyusunan pagar bata ini menggunakan sistem gosok (kuta kosod). Di bagian timur pagar terdapat gerbang dengan bentuk bentar. Pagar berwarna merah bata. Di sebelah utara bangunan utama masjid terdapat bangunan baru berukuran 10 x 2 m. Bangunan ini merupakan kamar mandi, tempat wudhu, dan tempat bersuci lainnya. Bangunan utama mesjid berukuran 25 x 25 m dilengkapi halaman yang sangat sempit ± 10 x 1 m. Teras depan di sisi timur yang juga digunakan sebagai tempat shalat setiap waktu merupakan pengembangan. Serambi mesjid berukuran 6 x 8 m. Lantai dari bahan keramik berwarna merah marun. Dinding merah bata dihiasi dengan piring keramik Eropa. Di sini terdapat 12 tiang sebagai pendukung atap. Pada sisi barat terdapat gerbang berbentuk koriagung. Gerbang ini adalah pintu bangunan masjid kuno. Di kiri-kanan terdapat hiasan piring-piring keramik Eropa. Di ruang ini terdapat 12 buah  tiang yang mendukung atap genteng. Ruang utama mesjid kuno berukuran 8 x 12 m berlantai tegel. Dinding merupakan bata dengan teknik penyusunan gosok. Di ruang ini terdapat 4 soko guru dan 10 tiang penyangga atap genteng yang berbentuk tumpang. Ruang ini hanya difungsikan pada hari-hari besar Islam saja. Di selatan bangunan ini ada ruangan yang dimanfaatkan sebagai gudang.   - See more at: http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=222#sthash.MraRQBCv.dpuf

MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA CIREBON JABAR

Di sebelah barat alun-alun terdapat Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Mesjid ini secara administratif berada di Kampung Kasepuhan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk. Secara geografis berada pada daerah pedataran tepatnya pada koordinat 06º 43' 542" Lintang Selatan dan 108º 34' 321" Bujur Timur.  Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1498 oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat (dari Majapahit) bersama dengan 200 orang pembantunya (tukang) yang berasal dari Demak. Mesjid ini dinamai Sang Pencipta Rasa karena merupakan pengenjawantahan dari rasa dan kepercayaan. Sementara penduduk Cirebon, pada masa itu menamainnya Mesjid Pakungwati karena terletak dalam kompleks Keraton Pangkuwati. Sekarang mesjid ini terletak di depan Keraton Kasepuhan. Menurut cerita rakyat, pembangunan mesjid ini hanya dalam tempo satu malam; pada dini hari keesokan harinya telah dipergunakan untuk shalat Subuh. Kompleks Mesjid Agung Sang Cipta Rasa luasnya ±1.763 m2, dikelilingi pagar tembok. Pagar tersebut berlainan tingginya. Bagian sisi barat dan utara setinggi ± 2 m dan sisi timur dan selatan ± 1,70 m. Sisi timur, tembok dihiasi dengan ragam-ragam belah ketupat, yang berukuran 1 m. Di sisi ini juga terdapat 3 pintu gerbang. Pintu kiri-kanan berukuran ± 2 x 2 m dan di tengah berukuran 3 x 4 m. Ketiga gerbang ini berbentuk koriagung (gapura beratap). Pada puncak gerbang tengah terdapat hiasan bentuk sayap 3 tingkat. Di tengah sayap terdapat lengkunagn yang di tengahnya lagi dihiasi bentuk candi laras. Gapura atas berbentuk setengah lingkaran dengan tulisan Arab. Di kiri-kananya ada hiasan candi laras. Gapura tersebut memiliki 2 daun pintu dengan hiasan candi laras dan belah ketupat. Bangunan utama mesjid menghadap ke timur, berdiri di atas lahan seluas ± 50 x 60 m2. Bangunan mesjid ini berdenah bujursangkar dengan ukuran 28 x 28 cm dan  mempunyai keunikan, yaitu adanya saka tatal (salah satu saka gurunya terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu ditata rapih menjadi tiang setinggi enam meter dan garis tengahnya ± 60 cm). Pada salah satu tiang penyangga terdapat sebuah papan yang bertulis huruf Arab dan menyebut tentang perbaikan serambi mesjid tersebut. Mesjid Agung yang juga disebut sebagai Mesjid Kasepuhan ini mempunyai sembilan pintu. Pintu utama terdapat di Timur, khusus untuk para wali dan raja. Kedelapan pintu lainnya terletak di sisi Utara dan Selatan. Tujuh buah pintu dibuat dengan ukuran rendah, sehingga bila hendak masuk harus membungkuk. Di dalam mesjid terdapat mihrab, mimbar, dan satu ruangan berpagar kayu. Mihrab terdapat di sisi Barat, terbuat dari batu pualam muda  berwarna  putih. Di bagian   puncak lengkung mihrab, tepatnya   di tengah   terdapat tonjolan yang berbentuk jantung dengan ukiran bunga teratai. Mimbar terbuat dari kayu, letaknya di utara mihrab dan berkelambu. Mimbar ini diberi nama Sang Renggokosa, sedangkan kelambunya bernama Sang Entu. Di sebelah utara mimbar terdapat satu ruangan pagar kayu (kerangkeng) yang disebut maqsura. Ruangan ini dipergunakan khusus untuk ruangan sholat Sultan-sultan Kasepuhan. Bangunan mesjid dilengkapi prabhayaksa (serambi depan) berukuran 30 x 10 m dan serambi selatan berukuran 35 x 8 m. Bentuk atap mesjid Agung Kasepuhan adalah limasan bertingkat tiga tanpa mamolo. Ragam hias yang terdapat di mesjid ini antara lain geometri, motif tumbuh-tumbuhan dan anyaman. Lantai bangunan ini menggunakan tegel dan yang baru menggunakan keramik. Di sebelah utara mesjid terdapat dua sumur yang airnya dianggap keramat. Sumur ini masing-masing berdiameter 1 m. Bagian dinding dalam sumur ditembok dengan bahan bata. - See more at: http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=216#sthash.M4omvmgp.dpuf

KRATON KACIREBONAN JABAR


Keraton Kecirebonan dibangun tahun 1800, banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang, perlengkapan perang, hingga gamelan. Kraton Kacirebonan berada di wilayah kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 Km sebelah barat daya dari Kraton kasepuhan dan kurang lebih 500 meter sebelah selatan Kraton Kanoman. Kraton Kacerbonan merupakan pemekaran dari Kraton Kanoman setelah Sultan Anom IV yakni PR Muhammad Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta sudah diduduki oleh PR. Abu sholeh Imamuddin. Atas dasar kesepakatan keluarga, akhirnya PR Anom Madenda membangun Istana Kacerbonan, kemudian muncullah Sultan Carbon I sebagai Sultan Kacirebonan pertama.
Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerin tahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari Keraton' Cirebon ke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai penggan ti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran Wangsakarta.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman.
Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya.
Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pcwaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon bherkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cerbon.
Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada pihak VOC-Belanda yang membantu Amangkurat I. Pihak Mataram membayar hutangnya itu dengan cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan
yang amat menguntungkan itu kepada VOC.
Akibatnya lebih lanjut adalah penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi. Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan.
Pengganti Sultan Anom adalah putera bungsu. Sedangkan di Kasepuhan terjadi pembagian kekuasaan anatara Sultan Sepuh dan Sultan Cirebon. Ketika Pangeran Cirebon dibuang karena melawan Belanda, daerah kekuasaan nya diberikan kembali kepada Sultan Sepuh. Kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah Panembahan terakhir wafat tanpa mewarisi keturunan, daerahnya kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran.

KRATON KANOMAN CIREBON JABAR

 Keraton Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dariCirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebontidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, 
Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton diCirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak tersembunyi di balik keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk mencapai tujuan sejak para penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang menjajakan dagangan di depan Vihara Pancar Keselamatan, menunjukkan arah menuju keraton. Maklum, kendaraan harus membelah kerumunan penjual sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, sepi. Di bagian luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi pembatas kawasan keraton, pintu gerbang, hingga bangsal paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta, atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu, di Bangsal Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi keraton menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Memang tampak keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya berhiaskan piring-piring porselen yang cantik. Porselin-porselen asli dari Negeri Tiongkok, kata Muhammad Rais (70), Lurah Kesultanan Kanoman, pemandu tamu.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya sebagai kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Rais menjelaskan, konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan bermotif batikCirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais menceritakan kereta-kereta itu dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga pula ia menceritakan seorang insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari konstruksi roda kereta-kereta kesultanan itu.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris, senjata api, aneka perisai, dan meriam.
Hasil penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah pusat peradaban KesultananCirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Peninggalan sejarah kejayaan Islam masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari Gua Sunyaragi, yang menjadi penutup acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5 hektare itu, dulu merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi Sultan Kasepuhan dan kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km sebelah barat pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan pada hari Minggu pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung

Kamis, 01 Agustus 2013

KRATON KASEPUHAN CIREBON JABAR

DI KOTA Cirebon, situs bersejarah yang pantas dikunjungi adalah dua istana bersaudara, yaitu Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman.
Berdasarkan catatan sejarah, ketika Sunan Gunung Jati masih hidup, Cirebon hanya memiliki satu keraton. Namun, setelah meninggal, keraton berhasil dipecah menjadi dua oleh Belanda. Keraton pertama yang ada adalah Keraton Kasepuhan.
Memasuki kawasan Keraton Kesepuhan, Anda akan disambut sebuah gerbang yang terbuat dari bata merah bertingkat. Bagian depan keraton ini biasanya dinamakan dengan Siti Hinggil atau tanah tinggi, yang menghadap langsung ke arah lapangan tempat dulunya pasukan keraton berkumpul.
Setelah melewati Siti Hinggil yang berbentuk gerbang dan pagar panjang, bangunan lainnya yang menarik adalah Mande Semar Sunando. Bangunan ini terbuat dari kayu. Dulunya dijadikan sebagai tempat duduk para penasihat keraton. Bangunan ini memiliki dua tiang berukir yang melambangkan kemakmuran.
Tanda kejayaan keraton di zamannya, bisa dilihat dengan banyaknya keramik China dari Dinasti Ming yang ditempelkan pada dinding, mulai gerbang paling depan, hingga bagian dalam keraton.
“Keramik China melambangkan bahwa hubungan keraton Cirebon dulunya dengan China sangat baik. Bahkan, salah satu istri Sunan Gunung Jati adalah putri China,” kata Pemandu di Keraton Kasepuhan, Sugiman.
Keraton Kasepuhan dibangun 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Kejayaan keraton ini juga terlihat dengan sebuah bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada dalam kompleks Keraton Kasepuhan, begitu indah dan dibangun 1549.
Keraton ini juga memiliki kereta kencana yang dikeramatkan. Kereta itu bernama Singa Barong. Sejak 1942, kereta ini tidak dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
“Kereta kencana Singa Barong ini telah memiliki teknologi yang menarik, seperti jari-jari roda dibuat melengkung ke dalam, agar air dan kotoran tidak masuk ke dalam kereta,” kata Sugiman.
Jika Keraton Kasepuhan terasa begitu megah dan cukup terawat, tidak demikian dengan Keraton Kanoman. Kesan terlupakan terasa di Keraton yang dibangun 1662 oleh Amangkurat I tersebut. Untuk memasuki keraton ini, pengunjung harus masuk dari Pasar Kanoman. Bahkan, kekokohan gerbang dengan tinggi lebih dari empat meter, terasa sia-sia dengan banyaknya becak dan warung kaki lima, yang mangkaldi bawahnya.
Kesan suram tersebut sedikit berubah menjadi lebih baik ketika memasuki gerbang keraton di bagian dalam. Identik dengan warna merah muda, gerbang utama keraton menjadi simbol kejayaan Kanoman di masa lalu. Hampir sama dengan Keraton Kasepuhan, Kanoman juga memajang puluhan piring antik dari Dinasti Ming di gerbang utamanya. Namun sayang, banyak yang hilang dan dicongkel pencuri benda-benda antik sehingga banyak bagian gerbang yang berlubang.
“Pendopo di Keraton Kanoman dinamakan Pendopo Pujinem dengan 17 tiang, ada juga ruang khusus bernama Rabayaksa,” kata Pemandu Keraton Kanoman, Rohim.
Dalam sejarahnya, Keraton Kanoman lebih muda dari Kasepuhan. Kanoman berasal dari kata anom yang berarti “muda”. Terbelahnya kekuasaan keraton di Cirebon dilambangkan dengan dua keraton, Kasepuhan dan Kanoman.

PANTAI UJUNG GENTENG SUKABUMI JABAR


Pantai Ujung Genteng secara umum memiliki karaktristik yang hampir sama dengan kebanyakan pantai di pesisir selatan Pulau Jawa yakni berombak besar dan airnya yang bersih sehingga kalau dipakai untuk berenang tak akan risih. Meski demikian, pantai ini disebutkan lumayan banyak merenggut korban jiwa dan terkesan sedikit angker. Ombaknya yang agak besar memang senantiasa bersiap untuk memangsa setiap pengunjungnya yang tak waspada.
Sejatinya, pantai Ujung Genteng ini menghadap langsung ke laut lepas Samudera Hindia. Namun demikian, ombak yang sangat besar di tengah samudera ketika sampai ke bibir pantai menjadi sedang karena terlebih dahulu pecah. Keadaan demikian, asal dibarengi dengan kewaspadaan berenang di tepian pantainya masih dalam batas aman sekalipun bagi anak-anak. Anak-anak boleh berenang di laut sepuasnya dan memungkinkan memandang sekumpulan ikan berwarna-warni di sela-sela batu karang, menandakan betapa alaminya lingkungan Ujung Genteng.
Di daerah ini sendiri banyak memiliki tempat yang menarik dan sangat sayang apabila dilewatkan begitu saja, seperti misalnya melihat Penyu Hijau di Pantai Pangumbahan. Selain itu, ada juga lokasi yang menjadi favorit bagi para peselancar dengan ombak yang menantang yang disebut dengan “ombak tujuh”. Biasanya lokasi ini banyak disinggahi oleh para peselancar dari mancanegara yang memang senang untuk menantang bahaya.
Bagi Anda yang suka memancing, Pantai ujung Genteng ini juga menyediakan lokasi yang tepat untuk melakukan proses pemancingan. Ikan-ikan yang dihasilkan disini cukup bervariasi dan lumayan banyak. Disamping ketenaran wisata alamnya, Ujung Genteng juga mempunyai andalan lainnya yakni proses pembuatan gula kelapa yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang mana bisa disaksikan secara langsung oleh pengunjung yang bertandang kesini.