Pages

Sabtu, 20 Juli 2013

KALIADEM YOGYAKARTA


KALIADEM - Melihat dari Dekat Wajah Asli Gunung Merapi

Kata orang-orang, pagi hari adalah saat terbaik untuk menikmati pemandangan Gunung Merapi sebelum berselimut kabut. Jadi pukul 07.00 pagi kami sudah berangkat menuju Kaliadem, sebuah kawasan sejuk yang berada di kaki Gunung Merapi, sekitar 25 km utara Kota Jogja. Kami memilih jalur alternatif lewat Maguwo karena jalur itu memiliki lebih banyak sawah ketimbang lewat Jalan Kaliurang. Benar saja, baru beberapa kilometer menjauhi kota, pemandangan hijaunya sawah langsung memanjakan mata, bagaikan lukisan-lukisan Mooi Indie. Udara sejuk pun segera menyergap lewat jendela mobil yang dibiarkan terbuka. Samar-samar tercium aroma batang padi; baunya segar, seperti bau rumput sehabis dimandikan hujan.
Matahari belum tinggi ketika YogYES tiba di Kaliadem, beberapa penduduk setempat tampak mulai bersiap-siap mencari rumput untuk ternak mereka. Walau ada kabut tipis, Gunung Merapi memang terlihat utuh seperti yang diharapkan. Berdiri menjulang hingga 2980 meter di atas permukaan laut, gunung itu benar-benar terlihat gagah. Punggungnya tampak berkilauan ditimpa sinar matahari pagi, sementara puncaknya mengeluarkan asap tipis. Hadirin sekalian, inilah salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia!

Di balik penampilannya yang begitu tenang, Gunung Merapi menyimpan kekuatan alam yang dahsyat. Sebagian ilmuwan menduga letusan besar Gunung Merapi adalah penyebab kerajaan Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Ketika meletus, Gunung Merapi sanggup menyemburkan awan panas (800-1000 derajat celcius) yang meluncur ke bawah dengan kecepatan hingga 70 km/jam. Pada tahun 1930, awan panas dari letusan Gunung Merapi menghanguskan hutan, 13 desa, dan 1400 penduduk dalam sekejap.
Letusan terakhir Gunung Merapi terjadi pada tahun 2006 lalu. Jutaan kubik material vulkanik tumpah di Kali Gendol dan Kali Krasak, sebagian kecil sisanya menerjang Kaliadem dan meninggalkan jejak yang masih bisa kita saksikan. Kaliadem yang dulunya merupakan hutan pinus kini tertimbun pasir, batu, dan material vulkanik lainnya. Di sebelah timur tampak reruntuhan warung yang tertimbun material vulkanik hingga setengah bangunan. Di sebelah barat ada sebuah bunker perlindungan yang ironisnya juga tertimbun material vulkanik setebal 3 meter. Letusan Gunung Merapi tahun 2006 ini turut menewaskan 2 orang yang berlindung dalam bunker tersebut. Butuh waktu berminggu-minggu setelah letusan barulah material vulkanik yang menimbun Kaliadem itu mendingin dan kawasan tersebut bisa dikunjungi lagi.
Namun seperti unjuk kekuatan alam lainnya, letusan Gunung Merapi juga memiliki sisi baik. Abu vulkanik dari Gunung Merapi memberikan kesuburan bagi tanah di kaki gunung dan ribuan hektar sawah di bawahnya. Jutaan kubik pasir yang dimuntahkan juga telah menghidupi ratusan penduduk setempat yang mencari nafkah dengan menambang pasir. Empat tahun setelah letusan, kawasan Kaliadem sudah hijau dan sejuk lagi. Pohon-pohon pinus yang dulu hangus, kini sudah mulai tumbuh. Kaliadem sekarang menjadi obyek wisata alam tempat menikmati keindahan Gunung Merapi sekaligus menyaksikan bukti bahwa alam memiliki keseimbangannya sendiri.

Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi

Sebelum pulang, YogYES singgah sebentar ke rumah Mbah Maridjan di sebelah selatan Kaliadem. Kakek kelahiran 1927 ini adalah abdi dalem yang diberi mandat oleh Sultan Yogyakarta untuk menjadi Juru Kunci Gunung Merapi, meneruskan jabatan ayahnya.
Sebagai juru kunci, beliau bertugas untuk "menjaga" Gunung Merapi. Setiap tahun beliau juga bertugas memimpin ritual Labuhan Merapi, ratusan orang mendaki hingga ke dekat puncak Gunung Merapi lalu berdoa bersama untuk memohon perlindungan pada Sang Khalik. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap bulan Rajab dalam penanggalan Jawa.
Sosok Mbah Maridjan menjadi sangat populer menjelang meletusnya Gunung Merapi tahun 2006 lalu. Awal Mei tahun itu, Gunung Merapi mulai mengeluarkan lava pijar. Komputer canggih yang dilengkapi sensor sudah memperkirakan Gunung Merapi akan segera meletus. Namun Mbah Maridjan menolak untuk mengungsi dengan alasan melaksanakan tugas diamanatkan Sultan padanya. Beberapa hari kemudian Mbah Maridjan malah mendaki Gunung Merapi dan berdoa sepanjang hari agar Tuhan melindungi jiwa dan rumah penduduk. Percaya atau tidak, Gunung Merapi lalu mereda dan Presiden SBY pun sempat meninjau lokasi. Sebagian dari 11.0000 penduduk yang sudah dievakuasi lalu diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.
Gunung Merapi baru meletus sebulan kemudian dan jutaan kubik materialnya menimbun Kali Gendol, Kali Krasak, dan Kaliadem; namun tidak ada korban jiwa selain 2 orang yang tewas di dalam bunker. Sejak peristiwa itu nama Mbah Maridjan sangat populer di Indonesia akibat liputan media massa yang bertubi-tubi. Banyak orang lalu mengaitkan sosok beliau dengan kekuatan supranatural, bahkan tidak sedikit yang mendatangi beliau untuk meminta "berkah".
Sesungguhnya, Mbah Maridjan bukanlah seperti anggapan orang-orang. Mbah Maridjan adalah sosok yang bersahaja, ramah, sekaligus religius. Ketika kami tiba di rumah beliau, Mbah Maridjan sedang menemui tamu namun kami tetap dipersilahkan masuk. Obrolan ringan pun mengalir dalam bahasa Jawa dan Mbah Maridjan berkali-kali melontarkan guyonan. Semua tamu disuguhi minuman dan hidangan seadanya.
Seorang tamu lalu mengutarakan niatnya untuk meminta "berkah" agar bisnisnya sukses namun Mbah Maridjan menolaknya. "Setahu saya, yang bisa memberikan berkah itu hanyalah Gusti Allah; lainnya ndakbisa, apalagi saya," tegas Mbah Maridjan.
Obrolan lalu berlanjut ke berbagai topik, antara lain tentang Gunung Merapi. Mbah Maridjan bercerita bahwa setiap kali gunung itu memperlihatkan tanda-tanda akan meletus, beliau adalah orang yang paling kerepotan. Siang malam rumah Juru Kunci Gunung Merapi itu akan dibanjiri ratusan tamu hingga kakek yang sudah renta itu nyaris tidak bisa beristirahat. Tamu-tamu itu biasanya menanyakan hal yang sama: kapan kira-kira gunung itu akan meletus? Jawaban Mbah Maridjan pun selalu sama, "Jangan tanya saya. Tanyalah pada Gusti Allah yang Maha Berkehendak."
Sebagai abdi dalem, beliau menerima gaji sebesar Rp. 5.800 / bulan. Jumlah itu sebenarnya hanya bisa untuk membeli 1 liter beras, namun Mbah Maridjan (seperti juga ribuan abdi dalem lainnya) merasa sudah cukup dengan hidup bersahaja. "Hidup itu jangan berlebihan, harus sering melihat ke bawah," nasehat Mbah Maridjan pada tamunya.
Tak lama kemudian adzan dzuhur berkumandang dari masjid dekat situ. Mbah Maridjan pun pamit pada tamu-tamunya untuk melaksanakan ibadah sholat di masjid, kami juga pamit untuk pulang.
Begitulah Yogyakarta, sobat. Banyak hal tidaklah sesederhana yang terlihat di layar kaca. Kaliadem, Gunung Merapi, dan Mbah Maridjan menggambarkan persahabatan penduduk setempat dengan alam sekitarnya dan kesetiaan sebagian masyarakat Yogyakarta pada tradisi Jawa tanpa perlu berbenturan dengan keyakinan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar