Bentuk bangunan masjid semula beratap ijuk seperti umumnya masjid-masjid kuno di Jawa Tengah. Dalam perkembangannya atap masjid diganti dengan sirap dan sekarang diganti dengan seng, dengan pertimbangan agar lebih tahan lama dan tidak cepat aus karena panas, hujan , dan lain-lain. Masjid saka tunggal sebagai salah satu bukti terjadinya akulturasi antara budaya Hindu-Budha, budaya lokal, dan budaya Islam. Unsur-unsur budaya ini masih kental dan dapat kita jumpai pada masjid ini. Salah satu bentuknya adalah atap masjid yang berbentuk tumpang dengan dihiasi mustaka pada puncak atap. Pada puncak atap berbentuk piramid dan pada ujungnya atasnya berakhir denngan bentuk bulatan. pada bagian bulatan dihiasi dengan sembir-sembir yang mirip dengan putik dan daun-daun bunga. Motif ini adalah motif asli bangsa Indonesia sebelum datangnya Hindu-Budha maupun Islam yaitu motif flora dan fauna Indonesia. Pada tiap ujung atap diberi hiasan bungkak yaitu hiasan yang melengkung. Hiasan ini adalah termasuk motif kuno Jawa Tengah bagian Selatan. Pada bagian dalam Masjid banyak dihiasi dengan kaligrafi-kaligrafi yang merupakan bukti masuknya budaya Islam ke Indonesia. Hiasan-hiasan yang terdapat pada masjid Saka Tunggal seperti ; hiasan pada saka tunggal atau tiang utama, langit-langit, dinding samping bangunan, emprit gantil, mihrab,dan mimbar.
Saka tunggal melambangkan bahwa manusia hidup seperti alif, harus lurus. Yang maknanya bahwa manusia dilarang nakal, berbohong , dan berbuat yang kurang baik.
Empat mata angin berarti bahwa manusia harus seimbang dalam hidupnya. Karena keunikannya maka Masjid Saka Tunggal pada tahun 1980 ditetapkan sebagai benda cagar budaya Banyumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar