Akan tetapi, jumlah nelayan di Legain tidaklah banyak. Berbeda dengan di Kuta yang meyoritas penduduknya ketika itu merupakan nelayan. Banyak yang berpendapat susahnya b0
Erkembang profesi sebagi nelayan di Legian karena ombak di Pantai Legian terbilang ganas. Di Pantai Kuta ombaknya lebih teduh sehigga memungkinkan orang untuk melaut.
Orang Legian baru ramai-ramai menjadi nelayan ketika terjadi paceklik berkepanjangan di tahun 1965 silam. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Orang-orang Legian memilih kembali menjadi petani ke sawah atau tegalan. Sampai-sampai ada mitos yang menyebutkan Legian memang tidak ditakdirkan sebagai desa nelayan meski berada di pesisir pantai.
Karenanya, agak sulit kini menemukan bukti kehidupan nelayan di Legain. Tidak seperti di Kuta, Kelan atau Kedonganan yang masih bisa ditemukan sisa-sisa kehidupan nelayan seperti jukung (perahu tardisional). Di Legian hal itu tak ditemukan lagi. Hanya satu tinggalan yang bisa membuktikan di Legian pernah ada nelayan yakni adanya Pura Menega di pesisir pantai.
Sebagai desa agraris kehidupan maysarakata Legian tentu saja penuh dengan kesederhanaan. Aktivitas keseharian mereka berkutat di dua tempat: pagi bergumul dengan lumpur di sawah atau pun tegalan, sore harinya di rumah menyelesaikan pekerjaan domestik.
Hasil panen di sawah atau tegalan kemudian dijual kepasar. Bukan hanya ke pasar yang ada di Legain atau Kuta, melainkan juga ke luar Legain khususnya ke Pasar Abiantimbul, Denpasar. Hasil panen yang dijual biasanya daun teges, daun kelor serta kayu bakar.
Pada saat-saat tertentu, warga Legain memang datang ke pantai untuk mencari kayu bakar. Seperti halnya Pantai Kuta, Pantai Legian akan kedatangan sampah kiriman berupa ranting-ranting kayu pada akhir tahun. Ketika itulah warga Legian akan beramai-ramai datang ke pantai memunggut sampah ranting-ranting kayu untuk dijual. Kondisi ini masih terjadi hingga kini. Hanya saja, tak lagi ada yang mencari sampah ranting kayu itu untuk dijadikan kayu bakar seperti 40 tahun silam.
Selain ranting kayu, warga Legian juga kerap mengambil ikan yang terdampar pada musing-musim tertentu. Ikan-ikan itulah yang dikonsumsi. Belakangan, ikan yang terdampar dalam keadaan mati juga kerap terjadi dan diketahui sebagai dampak dari ledakan alga beracun (red tide).
Selain di pantai, warga Legian biasanya juga mencari ikan di Tukad Mati yang terletak di sisi timur pusat desa yang membelah desa Legian. Sejumlah warga akan membawa pancing ke sungai tersebut untuk mencari udang, lele dan ikan air tawar seperti betok dan lain-lainnya. Ikan-ikan hasil tangkapan itu dibawa pulang untuk dikonsumsi.
Legian sebagai Kota Turis
Awal tahun 1970-an, Kuta berkembang menjadi desa yang sering dikunjungi wisatawan. Seperti sering diungkap dalam sejumlah sumber tertulis. Awal perkembangan dunia kepariwisataan di kawasan Kuta didorong oleh kedatangan pasangan seniman Amerika, Louise Garet dan Robert Koke di tahun 1936 yang kemudian mendirikan Kuta Beach Hotel. Disusul kemudian kedatangan wanita berkebangsaan Amerika kelahiran Skotlandia, Vanine Walker yang biasa dipanggil Miss Manx sekitar tahun 1932 silam. Wanita ini kemudian lebih senang memakai nama khas Bali, Ktut Tantri setelah diangkat menjadi anak keempat raja Bangli. Di Kuta, wanita ini mendirikan hotel pertama yang diberi nama “Suara Samudera” (Picard, 2006: 111-112).
Apa yang dilakukan Ktut Tantri dengan mendirikan sebuah tempat penginapan bagi para pelancong diikuti oleh warga Kuta. Mereka yang sebelumnya menggeluti kehidupan sebagai nelayan dan petani, mulai mencoba usaha menyewakan rumahnya sendiri kepada para tamu-tamu asing yang datang ke tempat mereka. Turis-turis yang datang saat itu adalah dari kaum hippies yakni turis umumnya berkantong tipis. Harga sewa kamar semalam saat itu hanya Rp 250, atau satu dollar AS (Sujaya, 2004:17-18).
Fasilitas publik di kawasan Kuta ketika itu berlumlah memadai sebagai sebagai tempat kunjungan wisata. Jalan-jalan masih seperti kubangan kerbau. Pantai masih kotor. Listrik juga belum ada sehingga bila malam tiba, daerah ini gelap bukan main. Turis yang menginap di rumah-rumah warga pun hanya ditemani dengan lampu minyak tanah.
Baru setelah listrik masuk sekitar tahun 1970-an, kawasan Kuta dan sekitarnya mulai berbenah. Rumah-rumah warga yang disewakan untuk turis pun semakin banyak jumlahnya. Malah, sudah mulai dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet. Sampailah akhirnya pelaksanaan Konferensi PATA di Sanur. Turis-turis hippies tertnyata kian membludak mengunjungi Kuta. Di Kuta kemudian berkembang usaha rumah penginapan yang dikenal dengan sebutan pension.
Sebagai tetangga, Legian pun akhirnya ikut terimbas dengan perkembangan industri turisme di Kuta itu. Apalagi kaum backpackerskemudian cendrung pindah kian ke utara dan memilih menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar Legian. Nuansa Legian dianggap lebih “asli” ketimbang Kuta (Picard, 2006:113). Usaha pension pun ikut berkembang di kalangan warga Legian.
Kala itu, pension yang dikelola warga Legian sangatlah sederhana. Pension itu awalnya merupakan rumah tinggal warga. Karenanya, ketika itu belum ada kamar mandi. Wisatawan yang menginap jika ingin mandi terpaksa mandi di bawah guyuran air pancoran.
Perkembangan kepariwisataan di kawasan Kuta dan Legian itu disikapi Pemerintah Daerah Tingkat I Bali dengan membentuk Bandan Pengembangan Induk Pariwisata (BPIP). Badan ini mengkonsep pengembangan kawasan wisata Kuta dan sekitarnya sebagai kawasan wisata kecil dengan mendorong pertumbuhan usaha kepariwisataan yang berbasis kerakyatan.
Yang cukup dikenal masyarakat Legian kala itu, yaitu imbauan dari BPIP agar warga Kuta, Legian dan sekitarnya tidak menjual tanah untuk kepentingan pariwisata. Begitu juga bahan-bahan untuk pembangunan pension diharapkan agar tidak dibeli dari luar tetapi berupaya memaksimalkan potensi yang ada di daerah setempat.
Namun, keberadaan BPIP ini layu sebelum berkembang. Belum sempat diresmikan, badan tersebut sudah dibubarkan. Selanjutnya pengembangan kepariwisataan di kawasan Kuta, Legian dan sekitarnya berkembang liar. Investor dari luar Bali berdatangan untuk membangun hotel berbintang, restoran dan lainnya. Calo-calo tanah pun bergentayangan membujuk warga untuk menjual tanahnya.
Lantaran banyak warga Legian yang enggan menjual tanahnya, intimidasi pun mulai dilakukan. Melalui tangan-tangan kekuasaan, intimidasi dilakukan secara kasar. Warga yang tak mau menjual tanahnya diancam. Karena tak mau berurusan dengan aparat, warga pun merelakan menjual tanahnya.
Penjualan tanah dalam skala besar itu membawa perubahan dalam perekonomian dan kultur masyarakat Legian. Jika sebelumnya mereka tak pernah memiliki uang dalam jumlah yang besar, kini mereka dihadapkan pada uang yang berlimpah. Sebagian warga mengubah gaya hidup dengan uang hasil menjual tanah itu. Yang terkenal yaitu membeli sepeda gayung terbaru di masa itu. Sebagian lainnya, karena takut menyimpan uang di rumah, menyerahkan uangnya kepada pihak lain di desa yang dianggap memiliki kecakapan untuk menyimpan uang mereka.
Susudahnya Legian pun berubah drastis. Hotel-hotel berbintang muncul dimana-mana. Toko-toko atau art shop pun bertebaran di sepanjang jalan. Berdasarkan data yang tercatat dalam Monografi Kelurahan Legian tahun 2005, di Legian terdapat sedikitnya 90 buah hotel, 52 restoran, 5 travel biro, 105 toko (termasuk art shop), dan 2 diskotek.
Usaha pension yang dirintis warga pun kalah bersaing. Beberapa bisa bertahan setelah sebelumnya menyesuaikan diri dengan jalan mengubahnya menjadi hotel, baik atas modal sendiri maupun bekerja sama dengan orang lain. Namun, sebagian besar memilih jalan mengubah menjadi rumah kos. Terlebih lagi ketika terjadi ledakan bom pada 1 Oktober 2005 di Kuta, yang memporak-porandakan kepariwisataan Kuta. Kemudian terjadi ledakan bom di Kuta dan Jimbaran, yang membuat perekonomian tambah buruk dan terpuruk.
Karena perkembangan pemerintahan maka dibentuklah Kelurahan Legian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 643 tahun 1997 tentang Penetapan Kelurahan-kelurahan Definitif sebagai pemecahan Kelurahan di Kabupaten Badung, yang pengisian personilnya mulai pada tanggal 26 Oktober 1998. Jadi pada saat itu ada Lurah Pertama di wilayah Legian yang dipercayakan kepada Drs. I Nyoman Suendi sebagai Lurahnya serta lengkap dengan para Kepala Urusannya, yang kantornya masih meminjam di Gedung KSU Kuta Mimba di lantai III.
Karena di wilaya Legian masih terdapat tanah Negara seluas ±32 are di pinggir tukad mati (lokasi kantor sekarang), maka melalui usulan masyarakat kepada Bupati Badung agar dibangun Kantor Lurah di tanah tersebut. Ternyata usulan masyarakat disetujui oleh pemerintah kabupaten, kemudian usulan tersebut direalilasikan pada tahun 2000. Setelah kantor selesai dibangun kemudian diserahkan kepada Lurah Legian oleh Kabag Pemdes walaupun dalam kondisi yang sangat sederhana serta fasilitas serta fasilitas yang sangat minim Kantor Pemerintahan Kelurahan Legian dipindahkan dari KSU Kuta Mimba ke lokasi yang baru pada tanggal 14 April 2000. Sehingga mulai saat itulah pelayanan pada masyarakat dilaksanakan di kantor yang berlokasi di pinggir Tukad Mati sampai sekarang.
Pada akhir tahun 2000, tepatnya pada tanggal 30 Nopember 2000 terjadi pergantian Kepala Kelurahan Legian dari Suendi kepada Nyoman Widana. Dengan berbekal pengalaman sebagai Kepala Urusan Pembangunan di Kelurahan Kuta sebelumnya, Pak Widana dapat menjalankan dan mengkoordinasikan urusan kelurahan dengan baik dan lancar, sehingga tanggung jawab sebagai lurah di Legian tidak begitu sulit baginya.
Kemudian sekitar tahun 2005, terjadi lagi pergantian Lurah, dari Nyoman Widana kepada Komp. Gde Wibawa, S.Sos, sampai sekarang. Dengan konsep Legian Bersatu, antara Pemerintah Kelurahan, Desa Adat, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM Legian), serta didukung oleh masyarakat dan pengusaha yang ada di wilayah Legian bersatu padu untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan Visi Kelurahan Legian yaitu mewujudkan masyarakat yang bersatu dalam pembangunan, sejahtera, aman dan damai yang berwawasan budaya serta bernapaskan Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar