Pages

Kamis, 01 Agustus 2013

KAMPUNG NAGA BANDUNG JABAR

Kampung Naga merupakan salah satu dari kampung yang masih memegang tradisi dan adat istiadat leluhur, namun bisa hidup berdampingan dengan kehidupan masyarakat lain yang lebih modern.
Mengunjungi Kampung Naga memang memiliki keunikan tersendiri. Melihat dari dekat kehidupan sederhana dan bersahaja yang masih tetap lestari di tengah peradaban modern.
Hari Selasa, Rabu, dan Sabtu adalah hari pantangan bagi masyarakat Kampung Naga untuk membicarakan berbagai hal tentang tradisi mereka. Selain pada hari pantangan tersebut, kita bisa berinteraksi dengan mereka dengan lebih leluasa.
Kampung Naga secara administratif terletak di kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Terletak persis di samping jalan raya Tasikmalaya-Garut dari rute Tasikmalaya-Bandung, membuat kampung ini mudah dicapai.
Untuk menuju ke sini bisa ditempuh dari 2 arah, dari Garut atau dari Tasikmalaya, karena kampung ini terletak di “tengah-tengah” perbatasan kedua kota, sekitar 30 km dari Tasikmalaya dan 26 km dari Garut.
Dari Jakarta, saya menuju Garut dengan menggunakan bus Primajasa dari Terminal Lebak Bulus dengan ongkos 35 ribu rupiah. Bila naik yang jurusan Tasikmalaya, ongkosnya 40 ribu rupiah.
Pertimbangan saya, dari Kampung Naga, saya akan meneruskan perjalanan ke Tasikmalaya, sehingga bila berangkat dari Garut lebih mangkus. Apalagi entah kenapa bus-bus jurusan Tasikmalaya yang biasanya pating tlecek di Terminal Lebak Bulus, saat itu tidak ada sama sekali.
Dari Terminal Guntur, Garut, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Elf (colt diesel) tujuan Garut-Tasikmalaya dengan ongkos 20 ribu rupiah. Perjalanan memakan waktu sekitar 1-2 jam tergantung kecepatan Elf (sering ngetem menunggu penumpang atau tidak). Ongkos dan waktu tempuh juga hampir sama jika menempuh dari Tasikmalaya.
Jika dari Bandung, gunakan minibus kecil jurusan Bandung-Tasikmalaya. Namun tanyakan dulu apakah bus tersebut melewati Kampung Naga atau tidak.
Jalan berkelok menyusuri bukit adalah jalur yang kami lewati. Saking penuhnya Elf, beberapa penumpang bahkan sampai duduk di atas atap Elf. Saya ndak bisa membayangkan gimana rasanya berada di atap ketika Elf menukik dan berkelok menyusuri tepian jurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar