Pada 1
Oktober 1965 telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang
jenderal dan seorang perwira pertama AD yang kemudian dimasukkan ke
sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer
G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan
Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.
Pada 4
Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di
Lubang Buaya, Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang
disiarkan luas yang menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya
sangat kejam dan biadab sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal
itu terbukti dari bilur-bilur luka di seluruh tubuh para korban. Di
samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan PAU
Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan
Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik
Kodam Jaya. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan film
jenazah yang telah rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan
tentang penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang
telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta koran milik AD Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain
dilarang terbit sejak 2 Oktober.
Jadi sudah
pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani
bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya telah
dipersiapkan skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer
untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar-besaran dan
serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi antara Pemuda
Rakyat dan Gerwani serta anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan
penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul, mengepruk,
meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan pisau, menoreh silet ke
mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu dilukiskan sebagai
telah kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian harum
bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata
korban, menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu
ke mulutnya….
Maaf
pembaca, itu semua bukan lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam
koran-koran Orba milik AD yang kemudian dikutip oleh media massa lain
yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek
sang penguasa serta buku-buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati
dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan sudah
pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat
menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak
AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang
bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib
ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun-tahun.
Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang
disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini
berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu
plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini berdiri monumen kebohongan
perzinahan politik”, agar kita semua belajar bahwa pernah terjadi suatu
rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya dengan
fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap para jenderal
yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.
Fitnah hitam
dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum
tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang
diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda-tanda
penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban dalam keadaan utuh. Laporan
resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan dan tak pernah diumumkan.
Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi.
Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi.
Apa tujuan
kampanye hitam fitnah itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan
situasi, membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya
menuju ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI
sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan gencarnya
kampanye hitam itu, maka telah berkembang biak dengan berbagai
peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa
setempat. Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan rumah
seseorang ada lubang, misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau
sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang
PKI, maka serta-merta ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh
dengan tuduhan telah mempersiapkan “lubang buaya” untuk mengubur
jenderal, ulama atau dan tokoh-tokoh lawan politik PKI setempat. Dongeng
tersebut masih dihidup-hidupkan sampai saat ini.
Segala macam
dongeng fitnah busuk berupa temuan “lubang buaya” yang dipersiapkan
PKI dan konco-konconya untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini
bertaburan di banyak berita koran 1965-1966 dan terekam juga dalam
sejumlah buku termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang
dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi
dengan apa yang disebut “daftar maut” meskipun keduanya tak pernah
dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan.
Seorang
petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di
Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali
mempersiapkan enam lubang untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu
siang datang sejumlah polisi dan tentara dengan serombongan pemuda yang
menggelandang dirinya ketika ia sedang menggali lubang keenam.
Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk
mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi
percakapan seperti di bawah.
“Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!”
“Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
“Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
“Lubang boyo
iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI!” [lubang buaya itu lubang
yang ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun
polisi yang memeriksanya tidak tahu apa sebenarnya lubang buaya itu,
mereka tidak tahu bahwa Lubang Buaya itu nama sebuah desa di
Pondokgede, Jakarta.
Dikiranya di
situ lubang yang benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot
tetapi kenyataan pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh
karena adanya “bukti telak” terhadap tuduhan tak terbantahkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar