Kompleks makam Astana Gunung Jati berada di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara pada pinggir jalan raya Cirebon – Indramayu dari kota Cirebon berjarak sekitar 5 km, tepatnya pada koordinat 06º 40' 256" Lintang Selatan dan 108º 33' 563" Bujur Timur. Luas wilayah kompleks makam adalah ± 36.350 Ha yang terdiri dari 23,010 ha tanah desa dan 13,340 ha tanah keraton. Batas wilayah kompleks makam di sebelah utara adalah Desa Kalisapu, sebelah timur persawahan, sebelah selatan Desa Jatimerta, dan sebelah barat jalan raya. Lingkungan pada kompleks makam adalah hutan jati yang disebut Alas Konda. Geomorfologi daerah berupa pedataran bergelombang. Kompleks makam Astana Gunung Jati merupakan kompleks makam dengan tokoh utama yang dimakamkan adalah Syekh Datu Kahfi. Untuk menuju makam Syekh Datu Kahfi dapat ditempuh melalui jalan berundak berplester semen dari sudut barat laut dan tenggara. Dari gerbang utama yang berada di barat laut, jalan berundak sedikit berkelok ke kiri kemudian sedikit menanjak terdapat percabangan jalan yaitu lurus dan belok ke kanan. Jalan yang lurus mendatar menuju cungkup makam Syekh Datu Kahfi. Sebelum memasuki cungkup melewati gerbang gapura candi bentar. Setelah melawati gapura bentar selanjutnya jalan menuju cungkup makam tersebut berpagar tembok. Cungkup makam berdenah empat persegi panjang menghadap ke barat. Jalan yang berbelok ke kanan berundak-undak sedikit menanjak menuju ke puncak Gunung Jati. Pada puncak gunung tersebut terdapat halaman yang disebut sebagai puser bumi atau puser Gunung Jati. Puser bumi ditandai dengan lubang yang diapit tumpukan batu. Lubang dan tumpukan batu tersebut mungkin merupakan sisa aktivitas vulkanik. Melalui tempat ini ke arah timur akan terlihat laut lepas sehingga kapal dapat dilihat dengan jelas. Pada tebing di sisi timur puser bumi terdapat goa yang disebut Goa Garba Iman. Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa pada masa lalu di tempat ini dipasang menara api (mercu suar). Tempat ini disebut Muara Jati yang banyak disinggahi kapal laut. Kemungkinannya tempat inilah yang merupakan daerah awal pelabuhan Cirebon yang dikepalai oleh seorang Juru Labuhan. Diceritakan pula bahwa Syekh Datu Kahfi pernah bertapa di gua Garba Iman. Oleh karena itu beliau disebut dengan nama Datu Kahfi. Kahfi adalah bahsa Arab yang berarti gua. Di tempat ini pula Syekh Datu Kahfi menghimpun murid-murid dan mengajarkan agama Islam. Mengenai sejarah Syekh Datu Kahfi diceritakan bahwa pada permulaan abad ke-15 agama Islam sudah berkembang di Pulau Jawa. Di Jawa Barat seperti di Gunung Jati merupakan wilayah di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena letaknya di tepi Pelabuhan Muara Jati, maka banyak pedagang asing yang dating ke situ. Pedagang tersebut antara lain berasal dari Cina, Arab, dan Gujarat (pantai barat India). Ramainya perahu dagang asing yang berlabuh pada pelabuhan itu dikarenakan letaknya strategis untuk perniagaan juga karena penguasa negerinya Ki Gede Surawijaya dengan Syahbandarnya yang bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati bersikap toleran terhadap setiap pedagang asing. Karena pedagang asing itu selain berdagang juga bertujuan sebagai mubaligh membawa ajaran agama Islam terutama pedagang dari Arab dan Gujarat Pada tahun 1420 Masehi datanglah rombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi memohon untuk menetap di perkampungan di sekitar Muara Jati. Untuk memperlancar dagangnya, Ki Gede Surawijaya mengijinkannya menetap di kampung Pasambangan di mana terdapat Gunung Jati. Sejak itulah mereka memulai kegiatan berdakwah mengajak penduduk dan teman-teman dekatnya. Cara beliau berdakwah sangat bijaksana, penuh hikmah dalam menyampaikan dan mengajak orang masuk Islam. Dalam waktu yang singkat Paguron Islam Gunung Jati terdengar sampai ke pusat Kerajaan Pajajaran, sehingga suatu hari kedatangan Raden Walangsungsang dan adiknya yang bernama Ratu Rarasantang beserta istrinya Nyi Endang Geulis dengan tujuan ingin mempelajari agama Islam. Raden Walangsungsang dan Ratu Rarasantang adalah putera dan putri Raja Pajajaran Raden Pamanarasa yang bergelar Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyi Mas Sumbanglarang putri dari Ki Jumajan Jati yang waktu itu sedang belajar agama Islam di Paguron Islam Syekh Quro, Karawang. Keduanya merupakan cucu dari Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Kedatangannya ke Paguron Islam Gunung Jati tidak disetujui oleh ayahnya. Setelah Nyi Subanglarang meninggal dunia maka Prabu Siliwangi kembali lagi ke agama Buddha. Sedangkan putra dan putrinya sudah dididik dan diberi petunjuk oleh mendiang ibunya agar memperdalam agama Islam di Paguron Gunung Jati semasa mereka masih anak-anak. Karena kedatangan mereka di Gunung Jati selain melaksanakan petunjuk almarhumah ibunya juga bermaksud sungkem kepada eyangnya. Dengan kedatangan keluarga Keraton Pajajaran ini, maka Syeh Idlofi semakin giat mengembangkan Agama Allah di Paguron Islam Gunung Jati. Beliau kegiatannya selain berdakwah juga suka tafakur menyendiri di gua puncak Gunung Jati. Maka oleh santrinya memanggil dengan nama “Syekh Dzatul Kahfi” artinya sesepuh yang mendiami gua. Selain sebutan itu, karena bersinar dan syiarnya Gunung Jati di luar daerah disebabkan kemulyaan taqwanya kepada Allah, hingga masyarakat kampung Pasambangan menyebutnya “Syekh Nur Jati “ artinya sesepuh yang menyinari dan menyiarkan Gunung Jati. Jika santri yang akan keluar dari Paguron Gunung Jati, beliau selalu menyebutkan “Settana” artinya pegang eratlah segala yang pernah diperoleh dari Paguron tersebut. Maka sejak itulah masyarakat menyebutnya Settana Gunung Jati. Pada akhirnya Gunung Jati dijadikan tempat pemakamanm, terutama makam Syekh Dzatul Kahfi sendiri. Karena penduduk Jawa Barat sebagian besar berbahasa Sunda maka dari Settana menjadi Astana yang artinya kuburan. Demikianlah, kampong Pasambangan yang mencakup sekitar Gunung Jati sampai sekarang namanya Astana Gunung Jati. Tempat dimana dimakamnya Syekh Dzatul Kahfi. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=235#sthash.3p0vTYNy.dpuf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar